1. Nabi tidak punya malu

"Dari Aisyah istri Nabi saw, dan Utsman berkata: suatu hari Abu Bakar minta izin kepada Rasul untuk masuk, sedang Rasul berbaring di atas ranjangnya dengan memakai kain Aisyah, kemudian Rasul mengizinkannya sedang beliau dalam keadaan seperti itu. Setelah selesai hajatnya iapun pergi. Berkata Utsman, kemudian meminta izin Umar, Rasul-pun mengizinkannya sedangkan beliau masih dalam keadaan semula. Setelah selesai hajatnya iapun pergi. Berkata Utsman, kemudian aku meminta izin masuk. Kemudian Rasul duduk dan berkata kepada Aisyah "betulkan pakaianmu". Setelah selesai hajatku, akupun pergi. Kemudian Aisyah pun berkata "Wahai Rasulullah... aku tidak mengerti, aku tidak melihat engkau bergegas (bangun) untuk Abu Bakar dan Umar RA. Sebagaimana engkau bergegas untuk Utsman. Rasul SAW, bersabda "Utsman adalah laki-laki pemalu dan aku takut jika dalam keadaan semula (berbaring ia tidak dapat menyampaikan keperluannya kepadaku. (Shahih Muslim, Kitabul Fadhail, Bab Fadhaili Utsman) Hadits ini dimuat dalam shahih Muslim bab keutamaan Utsman bin Affan RA. Sekilas hadits ini menunjukkan sikap egaliter Nabi pada para sahabatnya. Namun bila dikritisi, memunculkan kesan pelecehan terhadap keishmahan Nabi dan merendahkan kewibawaan serta rahasia hubungan intim suami istri. Apakah dengan membiarkan keadaan yang "seronok" pada diri Nabi maupun Aisyah untuk "diperlihatkan" pada tamunya merupakan perbuatan layak bagi seorang Nabiullah? Apakah cuma seorang Utsman baru kemudian Nabi menghormati dirinya hingga dia dengan istrinya bergegas merapikan pakaiannya. Apa beda dengan Abu Bakar dan Umar yang juga sahabatnya? Apakah pantas bagi seorang istri Nabi membiarkan keadaan apa adanya setelah melakukan aktivitas wajar sebagai suami istri pada orang yang jelas bukan muhrimnya? Masya Allah... Hadits ini sangat tidak layak dan bertentangan dengan nilai keishmahan Rasulullah saw.

Sebagian peneliti hadits menilai bahwa hadits ini lebih pantas disandarkan pada kebiasaan seorang penguasa yang hidup dengan banyak gundik cantik dan penuh kesombongan. Kebiasaan penguasa ini kemudian seolah-olah dianggap hal biasa lantaran ada satu hadits yang menggambarkan Rasul melakukan hal yang sama.

2. Nabi senang berjimak

"Telah diriwayatkan bahwa Mu'adz bin Hisyam berkata, meriwayatkan kepadaku ayahku dari Qutadah :bahwa Anas bin Malik berkata, "Nabi mengelilingi para istrinya dalam satu jam dari malam dan siang, sedang mereka (berjumlah) sebelas orang. Berkata (Qatadah), aku bertanya kepada Anas: "Apakah beliau mampu untuk itu?" Anas menjawab, kami pernah membicarakan hal itu (dengan Nabi), sebenarnya beliau telah diberi kekuatan tiga puluh kali (lebih dari kita)". (Shahih Bukhari, Kitab al Ghusul, Bab Idza Jama'a tsumma 'ada)
Nabi seorang yang sangat suka dengan kehidupan seks? Benarkah kekuatan seksnya hingga digambarkan dengan sangat fantastis --satu jam dalam sehari semalam-- Rasul menggauli sebelas istrinya? Padahal saat Beliau relatif lebih muda yakni usia 25 tahun, Rasul menikahi seorang konglomerat wanita Khadijah yang usianya sudah 40 tahun. Jika benar apa yang dikatakan Anas bin Malik, seharusnya Nabi lebih "perkasa" di saat usia itu. Saat yang secara biologis seks seorang laki-laki cukup tinggi.


Hadits ini pun menurut hemat penulis mengganggu keishmahan Rasulullah. Pelajaran apa yang bisa diambil dari perilaku Nabi yang sangat fantastis itu pada kehidupan kita secara wajar. Padahal lain, banyaknya istri Nabi tidak bermaksud memberikan gambaran akan seks yang tinggi pada Nabi, melainkan sikap kepedulian dan kepekaan sosial Nabi pada janda-janda dan yatim para syuhada.
Mungkinkah Rasulullah menceritakan perilaku seksnya pada seseorang? Bukankah Rasul melarang kita menceritakan kehidupan seks suami istri pada orang lain?


3. Nabi mencaci dan melaknat orang tanpa sebab

"Bahwa Rasul saw bersabda; "Allahumma, sesungguhnya aku manusia biasa, maka siapa saja yang aku laknat dan aku caci maki, jadikanlah itu, zakat dan upah". (Shahih Bukhari, Kitab ad Da'awat, Bab Qaulun Nabi Man Adzaitun).
Hadits ini memberi pengertian bahwa Rasul saw sama dengan manusia biasa yang juga bisa marah dan murka. Padahal sifat marah dan murka hanya ada pada manusia biasa dan itu merupakan sifat syaithoniah yang ada pada diri manusia. Lebih jauh Rasul dianggap sangat mudah kecewa dan marah pada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya. Padahal fenomena di Thaif menggambarkan bahwa Rasul sangat sabar melihat kondisi manusia yang justru dianggapnya tidak mengetahui akan misinya sehingga mereka melakukan penganiayaan terhadap dirinya.


Selain bertolak belakang dengan ayat-ayat Alquran yang menjelaskan keagungan Rasulullah, hadits ini juga kontradiksi dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang sama (Muslim). Dalam satu riwayatnya, telah dikatakan; "Wahai Rasulullah... Doakan ke atas para musyrikin dengan doa yang jelek. Rasul bersabda; "Sesungguhnya aku diutus bukan sebagai pelaknat, tetapi sebagai pemberi rahmat bagi alam semesta".